Indonesia disebut sebagai salah satu negara paling siap menghadapi era kecerdasan buatan (AI) di Asia Pasifik. Namun, di balik optimisme tersebut, Indonesia masih menghadapi tiga tantangan besar yang dapat menghambat realisasi transformasi AI: minimnya talenta digital, infrastruktur yang belum siap, dan keamanan siber yang masih lemah.
Menurut laporan Cisco AI Readiness Index 2025, sebanyak 23 persen perusahaan di Indonesia sudah memiliki kesiapan memadai untuk mengadopsi AI. Angka ini jauh di atas rata-rata global yang baru mencapai 13 persen.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria menegaskan, dua kerangka strategis nasional menjadi fondasi penting agar AI dikembangkan dan digunakan secara beretika, transparan, adil, dan akuntabel. Pemerintah juga menaruh perhatian pada dampak sosial-ekonomi, seperti perpindahan tenaga kerja, pengembangan talenta lokal, serta pelindungan data pribadi.
“Pertimbangan utama dalam upaya nasional ini mencakup tata kelola data yang kuat dan menjunjung tinggi prinsip etika seperti keadilan dan akuntabilitas,” jelas Nezar.
Nezar juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor lewat forum seperti AI Safety Roundtable yang menjadi ruang dialog antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas teknologi.

Secara global, Indonesia dinilai menonjol dalam kesiapan strategis mengadopsi AI. Pada 2024, Indonesia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang menyelesaikan Readiness Assessment Methodology for Artificial Intelligence (RAM AI) dari UNESCO. Hampir 97 persen organisasi di Indonesia juga berencana mengadopsi AI dalam waktu dekat.
Namun, Oliver, perwakilan Cisco yang berkunjung ke Indonesia, menilai masih ada tiga hambatan utama dalam perjalanan adopsi AI di Tanah Air:
1. Kekurangan Talenta Digital
Oliver menyebut kekurangan talenta digital menjadi faktor utama yang dapat menghambat perkembangan AI. “Teknologi AI masih baru, dan tidak banyak orang yang memiliki pengalaman mendalam di bidang ini,” ujarnya.
Untuk mengatasinya, Cisco menghadirkan program Cisco Networking Academy yang telah melatih lebih dari 500.000 orang di bidang jaringan, keamanan, dan cloud. Cisco menargetkan tambahan 500.000 talenta baru di Indonesia hingga 2030, termasuk di bidang AI.
Program ini tidak hanya menyasar mahasiswa dan profesional IT, tetapi juga guru, ASN, dan pelaku UMKM, agar AI bisa dimanfaatkan seluruh lapisan masyarakat, bukan menjadi teknologi eksklusif.
2. Infrastruktur Belum Siap
Meskipun 97 persen organisasi berencana mengadopsi AI, hanya 27 persen perusahaan yang yakin bahwa sistem mereka siap menampung beban kerja AI, dan 47 persen memiliki kapasitas GPU yang memadai.
Oliver menyebut kondisi ini sebagai “AI Infrastructure Debt” atau utang digital, menggambarkan perusahaan dengan sistem lama yang belum siap menopang beban teknologi baru. “AI bukan hanya soal software, tapi juga daya komputasi, jaringan, dan keamanan,” tegasnya.
Perusahaan kecil dan startup menjadi pihak yang paling rentan karena keterbatasan akses ke infrastruktur komputasi tinggi. Hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan digital di Indonesia.
3. Sistem Keamanan Siber Masih Lemah
Tantangan ketiga adalah lemahnya sistem keamanan. Berdasarkan laporan Cisco, baru 40 persen organisasi di Indonesia yang mengintegrasikan AI ke sistem keamanan mereka. Padahal, risiko seperti kebocoran data, prompt injection, dan manipulasi model AI semakin meningkat.
Untuk itu, Cisco memperkenalkan AI Defense, sistem pengujian keamanan yang mensimulasikan serangan terhadap model AI internal perusahaan. “Keamanan kini bukan fitur tambahan, melainkan syarat utama agar adopsi AI berkelanjutan,” ujar Oliver.
Kolaborasi untuk Akselerasi AI di Indonesia
Cisco bekerja sama dengan pemerintah, operator seluler, dan pemangku kepentingan lain untuk membangun infrastruktur AI yang aman dan scalable. Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah AI PODs, sistem modular yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri dan lembaga.
“AI tidak bisa dibangun sendiri. Kolaborasi dan regulasi yang mendukung inovasi menjadi kunci agar adopsi AI berjalan cepat,” tambah Oliver.
Meski masih banyak tantangan, Oliver optimistis perubahan besar akan segera terjadi. “Dua tahun lalu kita baru mulai bicara AI. Sekarang, anak sekolah pun sudah menggunakannya untuk mengerjakan PR,” pungkasnya.
Kesimpulan
Dengan komitmen pemerintah, dukungan sektor swasta, serta kolaborasi lintas bidang, kesiapan AI Indonesia menunjukkan arah positif. Namun, keberhasilan transformasi digital nasional tetap bergantung pada investasi di talenta, infrastruktur kuat, dan keamanan siber yang solid.
Referensi kompas.com , portalcomdigi
Baca Artikel Lannya Klik Disini





